Minggu, 21 Desember 2014

Enigma





Kulangkahkan kakiku satu persatu menaiki tangga yang tak berujung.



Kerap kali aku bertanya pada diriku sendiri. Kapankah aku akan menghentikan langkahku untuk menghampirimu. Kapankah diriku akan berhenti menaiki tangga hatimu yang tak berujung. Langkah demi langkah kubuat, namun engkau berlari menjauh. Di saat aku ingin berhenti menaiki setiap anak tangga itu, engkau justru berjalan mendekat seakan memberikanku sepercik harapan. Lalu kau pergi berlari menjauh kembali.

Setiap kali bibir ini berucap ingin berhenti. Dorongan hati kecilku tak bisa terbohongi. Sampai kapan aku bertahan dalam kegelapan ini? Sampai kapan aku mempertahankan setiap kepingan perasaan yang justru semakin hari semakin sulit terpecahkan. Sampai kapan rentetan anak tangga ini akan berakhir menuju satu kepastian yang jelas? Sampai saat ini aku hanya dapat berjalan dengan sejuta harapan terpendam.




Menatap langit biru, kunaikan lenganku seakan ingin menggapainya.



Berdiri termangu di depan pintu baja tak bercelah. Kuketuk pintu itu, tak ada jawaban. Setiap hari kuketuk, tetap tak ada jawaban. Ya, pintu hatimu, bagaikan pintu itu. Kuketuk, kau tak menyahut. Kupanggil, kau tak keluar. Mencoba untuk mendobrak, namun terlalu keras. Sama sekali tak terbuka, dan sama sekali tak berusaha untuk kau buka.

Walaupun dengan bantuan teman-temanku mengetuk keras, kau sama sekali menyahut memberikan jawaban. Mereka bertanya padaku mengapa tetap tak terbuka walaupun telah diketuk begitu keras, aku hanya menggeleng lemas, tak juga tahu. Mengapa kau tak membuka pintu? Aku butuh jawaban, ini bukan retoris. Tidak, pintu itu sama sekali tak terbuka. Bahkan secelah pun tidak.

Aku ingin menggapaimu. Mengapa engkau tak membiarkan? Aku ingin menggapaimu. Mengapa engkau tak izinkan. Aku hanya ingin menggapai dirimu, yang terasa begitu jauh untukku.  Sulit, sakit rasanya menunggumu di luar sini. Entah berapa banyak air mata ini mengalir untuk dirimu, kau tetap saja diam tanpa berucap.



Apakah langit itu benar-benar ada? Atau hanya ilusi semata?



Apakah aku terlalu berharap padamu? Apakah perasaanmu yang kuharap sama denganku itu benar-benar ada atau hanya ilusi yang kau buat untuk mengelabuiku? Mungkin, itu benar. Namun kau sukses jika semua itu benar. Aku benar-benar seakan tenggelam dalam dirimu, bahkan aku tak bisa meraih diriku sendiri saking dalamnya diriku tenggelam. Entah bisakah aku kembali atau tidak.

Dengan ketidakpastianmu, aku masih berharap. Dengan segala perasaan yang membantah bahwa ini bukan ilusi semata. Dengan segala hal yang membuatku menyangkal segala fakta kenyataan yang ada. Dengan raungan hati yang tak menerima kenyataan. Dengan segala kenaifan yang menyelimutiku. Segalanya terasa sangat kelabu. Berharap setitik cahaya datang dalam kekelaman ini, kabut ilusi yang mengelabui hati. Aku membiarkan diriku terlalu dalam tenggelam.



Kemudian aku menyadari,



Engkaulah sang enigma yang tak bisa kupecahkan. Di balik tawa riangmu, kau kunci rapat-rapat pintu hatimu, sama sekali tak renggang tak bercelah.

Engkaulah sang langit biru yang tak bisa kucapai. Di balik senyum manismu, kau menghiraukanku yang setia, setia menunggu terbukanya pintu bajamu.

Saat kumenyadari pintumu telah terbuka, engkau menjulurkan tanganmu dengan senyuman manis. Namun terasa cemeti tak berwujud mencambukku memaksa kembali ke kenyataan.

Seseorang di belakangku dengan anggun berjalan ke arahmu dan membalas juluran tanganmu.



bahwa selama ini aku berusaha menggapai sesuatu yang bahkan tak nyata.






Des, 2014
© PuputWn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

R
O
C
L
A